Cessie sebagai suatu perjanjian pengalihan piutang banyak dipergunakan oleh pihak perbankan karena merupakan suatu cara untuk mengalihkan hak tagih kepada pihak lain dan atau pihak ketiga untuk menjamin fasilitas kredit atau dana yang diberikan oleh bank.
Dana yang diberikan oleh bank melalui fasilitas kredit memerlukan jaminan, sehingga bank sebagai kreditur merasa aman memberikan fasilitas kreditnya. Jaminan dimaksudkan agar apabila debitur (si berutang) tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang atau angsuran, maka jaminan dapat dijual oleh bank sebagai kreditur sesuai dengan perjanjian yang telah dibuat. Hasil penjualan dapat digunakan oleh bank untuk melunasi utang debitur.
Perjanjian pemberian kredit oleh bank sering juga diperjanjikan untuk mengalihkan hak tagih debitur dan kreditur lama kepada pihak ketiga atau kreditur baru atau apabila bank melakukan restrukturisasi loan portofolio-nya. Restrukturisasi ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pengalihan piutang bank yang timbul dari suatu perjanjian kredit kepada pihak ketiga.
Dalam perjanjian cessie, yang dialihkan adalah piutang atas nama atau kebendaan tidak bertambah lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata yang menentukan, penyerahan atas piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertambah lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Secara yuridis yang dimaksud dengan cessie adalah suatu peralihan piutang atas nama terhadap debitur (cessus), dari kreditur lama (cedent) kepada kreditur baru (cessionaris) dengan cara yang diatur oleh undang-undang, yakni dengan jalan membuat akta cessie baik akta otentik maupun akta bawah tangan dan dengan kewajiban pemberitahuan kepada debitur, atau secara tertulis diakui oleh debitur.
Menurut Subekti , cessie adalah suatu cara pemindahan piutang atas nama dimana piutang itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun hubungan hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru. Perlu dipahami, yang dimaksud dengan ‘tagihan atas nama’ adalah tagihan yang krediturnya tertentu dan diketahui dengan baik oleh debitur. Hal ini berbeda dengan tagihan atas tunjuk (aan toonder) yang merupakan tagihan-tagihan yang krediturnya (sengaja dibuat, demi untuk memudahkan pengalihannya) tidak tertentu.
Selain itu, yang disebut dengan tagihan, tidak selalu harus berupa tagihan atas sejumlah uang. yang dimaksud dengan tagihan di sini adalah tagihan atas prestasi, yang merupakan benda tak berwujud. Jadi, apabila dikatakan cessie merupakan penyerahan tagihan atas nama, tidak berarti harus berupa tagihan sejumlah uang, meskipun biasanya memang mengenai sejumlah uang. Jadi, yang dimaksud dengan tagihan atas nama adalah tagihan atas prestasi perikatan, di mana krediturnya adalah tertentu (diketahui oleh debiturnya). Perlu diingat pula bahwa ada tagihan-tagihan tertentu yang tidak bisa dijadikan objek cessie, yaitu yang oleh undang-undang dinyatakan tidak bisa dipindahkan (Pasal 1602g KUH Perdata), yang karena sifatnya tidak bisa dialihkan (hak alimentasi dan hak pensiun) dan tagihan yang bersifat sangat pribadi, sangat melekat pada pribadi debiturnya.
Pihak-pihak dalam Cessie
Dalam cessie, setidaknya ada 3 pihak yang terlibat yaitu:
· Pihak yang menyerahkan tagihan atas nama (kreditur asal), yang disebut cedent;
· Pihak yang menerima penyerahan (kreditur baru), yang disebut cessionaris; dan
· Pihak yang punya utang (debitur), yang disebut cessus.
Penyaluran fasilitas kredit yang dirasa tidak efektif atau kebijakan internal bank untuk melakukan restruksturisasi di dalam kegiatan perkreditannya merupakan beberapa di antara alasan-alasan yang dapat menjadi dasar pertimbangan bank untuk mengalihkan piutangnya dengan jalan menjual piutang kreditnya itu kepada pihak ketiga, yang menjadi kendala dalam pengalihan hak cessie adalah apakah harus diberitahukan kepada debitur, sebagaimana yang dijelaskan juga dalam Pasal 613 (2) KUH Perdata, agar perjanjian pengalihan piutang yang dibuat oleh kreditur asal dengan kreditur baru mempunyai akibat hukum kepada debitur, maka mengenai telah dilakukannya pengalihan piutang tersebut harus diberitahukan kepada debitur atau secara tertulis disetujui atau diakui oleh debitur yang bersangkutan.
Dalam pengalihan hak tagih kepada pihak ketiga melalui cessie berdasarkan Pasal 613 KUH Perdata yang banyak digunakan oleh pihak perbankan maka selayaknya dibuat dalam bentuk akta otentik maupun di bawah tangan dan terutama harus diberitahukan kepada debitur (cessus) secara tertulis dan diakui dan disetujui oleh debitur (cessus) dan hanya untuk tagihan yang sudah ada. Secara prinsip pada mekanisme cessie, pihak kreditur baru (cessionaris) harus memberitahukan adanya pengalihan hak tagih kepada debitur, sehingga apabila terjadi pembayaran yang dilakukan oleh debitur kepada debitur lama karena tidak adanya pemberitahuan kepada debitur, maka pembayaran sebagaimana dimaksud dianggap sah dan berlaku. Di samping itu, cessie tidak menghapus kewajiban debitur terhadap utang piutang, cessie hanya pengalihan hak Kreditur lama kepada kreditur baru. Pemberitahuan akan dilaksanakannya pengalihan hak tagih dilakukan untuk memenuhi pasal 613 ayat (2) KUH Perdata.
(By. Retno Sri Astuti Onter /tim HI)
Refrensi —–
Rachmad Setiawan dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Cessie, Jakarta,2010.
Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta: Intermasa, 1998.Jurnal
Mohammad Wisno Hamin, “Perlindungan Hukum Bagi Nasabah (Debitur) Bank Sebagai Konsumen