Ada beberapa alasan,

a. Normatifnya karena kita menganut Civil Law, yg basisnya ke UU positif yg tertulis (kodifikasi), bukan ke jurisprudensi hakim.

b. Civil Law kita terapkan karena ‘warisan’ dari UU masa kolonial. Btw, UU Pidana (KUHP) dan UU Perdata (KUHPer) kita adalah produk kolonial masa Hindia Belanda dan masih berlaku sampai detik ini.

Pasal Peralihan UUD 45 dan bahkan kalimat penutup di teks proklamasi menyatakan demikian, UU kolonial yg belum ada gantinya masih diakui dan diterapkan di Indonesia.

c. Kalau kita ‘memaksakan’ jadi Anglo Saxon Law (Common Law), maka harus mengganti KUHP dan KUHPer bahkan sistem hukum nasional (artinya ratusan UU akan berubah, itu belum termasuk turunannya seperti Peraturan Menteri, Peraturan MA, Peraturan Jaksa Agung, Peraturan Kepala Polri dll).

Itu jelas sangat sangat sangat sulit dan perlu waktu dan biaya banyak. Lha, kita bikin KUHP dan KUHPer sendiri aja sampai detik ini belum bisa, padahal sudah 75 thn merdeka.

d. Pelaksanaan peradilan dgn Juri tdk murah dan tdk sesederhana yg dibayangkan.

Karena pemilihan juri harus berdasar database penduduk yg terpilih (rekam jejak baik, bisa dipercaya, jujur, psikotesnya baik, dll).

Penyusunan database itu gak bisa dlm waktu singkat dan harus komprehensif. Btw, kita bikin laporan kehilangan ke Polisi aja, sy bisa pastikan gak terekam secara nasional.

Apalagi bikin database penduduk untuk tujuan Juri peradilan, yakin valid?

e. Pendidikan hukum di Indonesia sudah mengakar ke Civil Law.

Perubahan sistem hukum akan juga merubah pola pendidikan hukum kita,susah merubah mind set

f. Kodifikasi hukum lebih cocok ke watak orang Indonesia.

Kodifikasi jadi panduan praktis dalam penetapan hukuman oleh hakim.

Jika kita mendasar pada putusan hakim dr Juri akan cenderung sewenang-wenang (dan pengaruh pihak luar semakin kuat).

dikutip dari Quora Author AEN YAKIN SH